Grid

GRID_STYLE

Breaking News

latest

Dilematika Hukum Prostitusi Dalam Perspektif Pidana

Sunarti Ardiman Oleh: Sunarti Ardiman KoranMalut.Co.Id - Prostititusi adalah salah permaslahan laten yang hampir selalu disegala zaman dan ...

Sunarti Ardiman

Oleh: Sunarti Ardiman

KoranMalut.Co.Id - Prostititusi adalah salah permaslahan laten yang hampir selalu disegala zaman dan nyaris tanpa penyelesaian pasti.Sebagai bentuk praktik yang bertentangan secara langsung dengan hak asasi dan nilai-nilai sosial kemanusiaan, prostitusi telah menjadi sebuah dilema umum, antara pragmatisme manusia terhadap kebutuhan biologis, dan kepastian hukum akan penghormatan nilai- nilai dan keagamaan yang berlaku.

Dalam prespektif agama, sebagai pedoman paling mendasar yang wajib diakui diindonesia, tidak ada pembenaran apapun terhadap aktivitas prostitusi, bahkan nilai-nilai agama yang berlaku diindonesia menetapkan prostitusi sebagai bentuk kejahatan (mala in see) dan dalam beberapa kategorisasi termasuk pelanggaran (mala in prihibita), adapun bentuknya, bagi masyarakat indonesia, prostitusi dihadapkan dengan potensi ancaman sanksi, baik agama, adat maupun sanksi sosial. Namun demikian kita tidak dapat menutup mata bahwa serangakain tata aturan non-ligitigasi yang berusaha melimitimasi praktek protitusi tidaklah berjalan secara efektif, terlebih dengan tingkat perkembangan teknologi dan informasi  yang merubah paradigma prostitusi menjadi berbasis digital sehingga semakin sulit untuk dideteksi.

Selain itu globalisasi, wasternisasi, dan masuknya paham- paham asiang dengan nilai hedonis dan berantitesis terhadap budaya timur berakumulasi menjadi formula yang menyuburkan paham sekularisme, degradasi keyakinan beragama dan perubahan sosial masyarakat, dengan kata lain, selain peningkatan populasi dan kemajuan teknologi yang memperluas potensi berlakunya prostitusi, melemahnya nilai-nilai sosial-teologis dalam masyarakat juga kian menyulitkan upaya untuk mengatasinya.

Dalam keadaan yang demikan, hukum sebagai entitas legal, mengikat dan berkapasitas yuridis, idealnya turut bereformasi dan menyediahkan mekanisme ruang, Sebandingan dengan jumlah populasi penduduk indonesia adalah negara dengan angka postitusi terbesar ke-12 didunia. Data global havoscopse lembaga yang berfokus pada penyedilidikan pasar hitam itu menerangkan bahwa nilai ekonomis yang berputar dari bisnis prostitusi diindonesia mencapai USD 2,25 milyar pertahun. Meski tentu ekonomi bukan satu-satunya alasan, namun ekonomi tetap  menjadi faktor utama yang mempengaruhi banyaknya jumlah persebaran pelaku prostitusi, permaslahan lain yang juga perlu untuk menjadi perhatian adalah perihal banyaknya anak-anak dibawah usia yang turut dalam bisnis tersebut, pada tahun 2018, misalnya UNICEF memberikan laporan yang memperkirakan sebanyak 30% pelaku prostitusi diindonesia adalah anak-anak perempuan dibawah usiah 18 tahun.

Memang, kostitusi diindonesia sendiri memberi kebebasan setiap orang untuk memilih dan memperoleh pekerjaan demi mempertahankan hidup dan kehidupannya sebagimana yang ditetapkan dalam pasal 27 ayat 2.( undang-undang 1945). Hak dalam bekerja, termasuk dalam mempergunakan potensi diri adalah bagian dalam hak asasi yang dijamin secara konstitusional, namun perlu menjadi catatan juga bahwa kebebasan dalam memilih pekerjaan tersebut bukan berarti kebebasan mutlak tanpa limitasi, misalkan bentuk kebebasan pertanggung jawab yang dibarengi dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan,Untuk itu, alasan ekonomi sekalipun pada dasarnya tidak cukup relevan untuk membenarkan praktik prostitusi.

Upaya penanganan dan pemberantasan praktik prostitusi diindonesia masih menemui kebuntutan, selain lantaran jumlah kasus yang besar dan terbatasnya hak negara dalam melakukan pengawasan, lantaran termasuk  dalam ranah hukum privat, kapasitas hukum positif yang saat ini mengangai permasalahan tersebut juga masih cukup mengembang dan layak untuk diperdebatkan. Ditinjau dari aturan hukum, prostitusi dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran ( mala in prohibita) yang dijerat dengan pasal 296 dan 506 kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) pasal 296 menegaskan bahwa ”barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan dan memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam pidana". Sedangkan pasal 506 menegaskan bahwa ”barang siapa sebagai mucakari (soutener) mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, diancam pidana".

Dari kedua ketentuan tersebut, secara umum dapat ditarik konkulasi hanya menjerat pelaku, mucikari dan perantara yang mengambil keuntungan dari aktivitas prostitusi, sementara itu, tidak terdapat dasar hukum yang tegas dan mengikat untuk pemidahan pelaku prostitusi yakni pekerja seks  komersial (PSK), maupun pelanggan yang melakukan parktik tersebut, dengan kata lain negara tidak dapat mempergunakan hukum pidana dalam menghentikan aktivitas prostitusi yang dilakukan tanpa jaringan mucikari, padahal, bila disandingkan dengan nilai-nila materiil masyarakat, unsur utama yang seharusnya menjadi titik perhatian dalam hukum adalah pelaku yang dalam hal ini adalah PSK dan pelanggan sebagai pelaku aktif dari prostitusi itu sendiri.

Belum adanya dasar hukum yang tegas itu, juga merembet pada permasalahan lain yang lebih ekstensif, yakni menunjukan bahwa secara implist negara tidak melarang praktik perzinahan selama  itu dilakukan diluar perkawinan yang sah, dan tidak melalui perantara yang mengambil keuntungan, adanya kekosongan hukum (rechtvacuum) ini bukan saja mereduksi nilai sosial-normologis dari hukum itu sendiri, tetapi juga menjadi legitimasi bagi perbuatan yang sebenarnya telah jelas larang keberadaannya.

Adanya kekosongan hukum terkait dengan pemidahan terhadap pelaku dan pelanggan prostitusi dalam kUHP, maka lahirlah semangat memperbaharui sistem hukum nasional, sejak 1963 Draf  Rancangan Undang-Undang RUU KUHP telah dibahass  dan dikaji pada tahap legislasi. Dalam RUU KUHP , pasal 417 pasal terkait penzinaan dan prostitusi dalam pasal 417 ayat (1) yang mengaskan bahwa “setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan penjara paling lama (10 tahun  atau didenda  maksimal 10juta rupiah)".

Pasal 417 RUU KUHP adalah jawaban bagi kekososngan hukum dan prolemematika hukum prostitusi saat ini, dengan pasal tersebut maka pemidahan tidak hanya dapat dilakukan secara terbatas  pada mucikari dan orang yang memiliki hubungan pernikahan, melainkan juga mencakup setiap orang yang melakukan termasuk dalam hal ini adalah PSK dan pelanggan, meski demikan kapasitas hukum yang ditetapkan oleh negara dengan jaminan pasal 417 tidak berarti lantas mengharuskan negara mengusut tuntas semua praktik prostitusi secara keseluruhan tanpa terkecuali, sifat dari pasal ini tidak mengakhiri total melainkan mereduksi angka prostitusi secara signifikasi, untuk itu dalam Draf RUU KUHP yang dibahas pada september 2019, pasal 417, negara hanya dapat hadir untuk memberikan pelayanan hukum  pidana apabila terdapat pengaduan dari orang tua, suami, istri, dan atau anak pelaku, misalnya dengan memasukan unsur masyarakat, prostitusi adalah pelanggaran yang tidak bisa seharusnya dibiarkan, peran negara dalam menekan persebaran prostitusi harus sejalan secara dua arah.

Yang pertama langkah preventif untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat, mempromosi kehidupan keluarga yang sehat, kedua meningkatkan kesejahteraan sosial masyarkat, disisi lain negara juga harus menetapkan regulasi yang memberi jaminan hukum dan meknisme kuratif bagi pelaku prostitusi sehingga dengan dua strategi tersebut angka prostitusi dapat ditekan seminimal mungkin, seiringi waktu bersamaan dengan visi misi pembagunan nasional yang berkarakter.

Tidak ada komentar