Grid

GRID_STYLE

Breaking News

latest

Problematika Isbat Nikah Poligami Siri

Foto : Sunarti Ardiman KoranMalut.Co.Id - Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat), memiliki tanggung jawab untuk melindungi kepentingan ...

Foto : Sunarti Ardiman

KoranMalut.Co.Id - Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat), memiliki tanggung jawab untuk melindungi kepentingan seluruh warga negaranya. Hal ini tidak lain, guna mewujudkan tujuan nasional sebagaimana digariskan dalam alenia ke 4 pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Sebagaimana cita kebangsaan tersebut, kemudian disusunlah sebuah norma dasar yang terimplementasi ke dalam pasal-pasal UUD NRI 1945 sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pembukaan UUD NRI 1945. Indonesia, disamping sebagai negara hukum juga sebagai negara walfare state (tipe negara kesejahteraan). Dalam walfare state teory yang digagas oleh R.Kranenburg, pada intinya menekankan campur tangan negara dalam mewujudkan

kesejahteraan sosial disemua lapisan masyarakat, bukan sebagai negara penjaga malam (nachtwachterstaat) yang hanya berperan dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Maka sesuai dengan cita kebangsaan dan konsep walfare state, negaran harus mengambil peran diberbagai lini kehidupan berbangsa dan berbegara, yang salah satunya kebijakan dalam perkawinan, sebab kesejahteraan sosial dapat terwujud secara merata jika kesejahteraan dalam bahtera rumah tangga sudah terwujud, begitupla dengan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak lepas dari peran dan tanggung jawab keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak untuk memahami hakekat dari kehidupan. Olehnya itu pula untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, idealnya perkawinan itu merupakan hubungan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita.

Pasca amandemen kedua UUD 1945, hak untuk membentuk keluarga kemudian dilembagakan dan dijamin secara tegas dalam konstitusi, bahwa setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Begitupula seorang anak, berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan kekerasan dan diskriminasi Jauh sebelum UUD NRI 1945 diamandemen, masalah perkwinan telah diatur secara terperinci di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menganut asas monogami. Namun asas monogami yang dianut

adalah asas monogami terbuka, yang artinya tidak bersifat mutlak berbeda dengan asas monogami yang dianut dalam Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang bersifat mutlak. Dianutnya asas monogami tidak mutlak ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 3 ayat 2, Pasal 4 , dan Pasal 5 ayat 1 Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatur bahwa apabila pihak-pihak (suami istri) menghendaki, Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu (berpoligami) Adapaun alasan yang dapat diajukan yaitu, (a) istri tidak lagi dapat menjalankan kewajibannya, (b) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, (c) istri tidak dapat melahirkan keturuna Selain alasan tersebut, Pengadilan dalam mengelurakan izin poligami

terhadap seorang suami, harus pula memenuhi syarat-syarat sebagai berikut;

pertama, adanya persetujuan dari istri/ istri-istri; kedua, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; dan ketiga, adanya jaminan bahwa suami dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Dengan adanya ketentuan sebagaimana disebutkan diatas, memang pada dasarnya poligami diizinkan, namun alasan dan syaratnya dipersulit. Sehingga dimasyarakat terbetuk suatu opini bahwa pengajuan permohonan izin poligami diPengadilan memakan waktu yang lama serta sulit. Hal inilah yang kemudian berimplikasi terhadap pola prilaku sebahagian kecil masyarakat yang lebih memilih jalan berpoligami sirri.Namun opini tersebut sirna bagi pelaku poligami sirri ketika isteri dari pernikahan berikutnya menuntut jaminan-jaminan hukum. Hal inilah yang kemudian menjadi buah simalakama bagi suami yang berpoligami sirri. Maju kena mundur pun kena, situasi dilematik ini hanya memberikan dua pilihan yang

sulit, yaitu dengan tetap melanjutkan poligami sirri (terlebih jika dari pernikahan sirri tersebut telah memberikan keturunan) atau menceraikan isteri lain yang dicintainya.

Dalam situasi yang dilematik itu, polemik poligami sirri akhirnya berujung ke Pengadilan. Pengadilan sebagai tempat terakhir bagi warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum

yang diharapkan menemukan solusi hukum terhadap persoalan tersebut. Terlebih Pemerintah Indonesia memiliki komitmen yang cukup tinggi melakukan pernikahan, talak, cerai, waris, sampai kematian yang diatur oleh negara. Peristiwa-peristiwa di atas merupakan peristiwa individual (privat), akan tetapi fakta hukumnya menjadi peristiwa publik, sebab secara langsung maupun tidak langsung memiliki implikasi hukum tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi terhadap keluarga dan komunitas, selain itu juga meletakkan tanggung jawab negara untuk memastikan pemenuhan hak konstitusional warga negara sebagai Hak Asasi Manusia (to promote, to respect, to protect, to fulfill).

Ditinjau dari norma hukum, aturan yang bersentuhan dengan isbat nikah di antaranya adalah pasal 3 ayat (5) Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk  Pasal 49 angka (22) penjelasan Undang- Undang No. 7 Tahun 19898 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 dan Pasal 7 ayat (2), (3) dan (4) Kompilasi Hukum Islam, aturan tersebut memberikan kewenangan bagi Pengadilan Agama

untuk mensahkan pernikahan sirri. Namun mengisbatkan poligami sirii merupakan hal yang dilematis dalam mewujudkan perlindungan hukum bagi warga negara Indonesia.

Isbat nikah adalah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke pengadilan untuk dinyatakan sah-nya pernikahan dan memikili kekuatan hukum. bermakna pengesahan. Isbat bermaka penyungguhan, penetapan, penentuan. Sehingga isbat nikah bermakna penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah atau isbat nikah merupakan upaya untuk melegalisasikan suatu perkawinan melalui penatapan hakim di Pengadilan Agama.

Kata Isbat nikah dipopulerkan oleh Kompilasi Hukum Islam. Sebelum dirancangnya Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Peradilan Agama tidak menggunakan istilah tersebut, undang-undang tersebut dalam penjelasannya hanya menjelaskan bahwa salah satu kewenangan pengadilan agama di bidang perkawinan adalah pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan. Dengan demikian sebelum berlakunya Kompilasi Hukum Islam, istilah Lahirnya aturan mengenai isbat nikah dalam peraturan perundang undangan

didasarkan atas adanya suatu perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan hukum agama namun tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Keharusan pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan suami istri selain untuk tertib administrasi, juga untuk memberikan kepastian hukum atas jaminan hak, sebab perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya tetap sah sepanjang rukun dan syarat terpenuhi namun dimata hukum dan negara perkawinan ini tidak diakui. Konsekuensinya berdampak pada kedudukan perempuan sebagai seorang istri yang tidak diakui oleh hukum sehingga berimplikasi pada hilangnya hak waris jika suaminya meninggal dunia, atau kehilangan hak atas harta gono gini jika terjadi perpisahan (perceraian). Selain itu, pernikahan yang tidak tercatat juga akan berdampak pada kehidupan sosial psikologis anak, karena anak yang dilahirkan berkedudukan sebagai anak yang tidak sah 15 maka seorang anak hanya akan memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya  kecuali hubungan biologis antara bapak dan anak dapat dibuktikan melalui proses hukum dengan penggunaan atau pemanfaatan teknologi. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010. Namun, pada tahap implementasi putusan MK ini masih menemui beberapa kendala, terutama seorang laki-laki yang menolak untuk melakukan tes DNA. Dengan adanya kondisi rill tersebut, maka dapat dipahami bahwa negara sedari awal telah mengetahui dan memahami adanya perkawinan yang dilangsungkan namun menyimpang dari ketentuan perundang-undangan terutama tentang pencatatan yang tidak dicatatkan oleh pegawai yang berwenang, sehingga diperlukan norma hukum yang dapat meminimalisir jumlah pernikahan yang tidak tercatat dan sebagai solusinya adalah. dasarnya adalah bentuk lain dari pencatatan pernikahan. Dengan ketentuan isbat nikah, maka terbuka pula peluang untuk mengesahkan poligami sirri melalui Pengadilan. Hal ini karena dalam ketentuan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam membuka celah yang dapat dipergunakan seseorang untuk mengajukan isbat nikah. Secara lengkap Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam, mengatur bahwa: (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah; (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama; (3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

a. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;

b. hilangnya akta nikah;

c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;

d. adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; dan

e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. (4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan Dari ketentuan pasal 7 Kompilasi Hukum Islam, maka ketentuan yang mengandung banyak interpretasi (penafsiran) adalah ketentuan yang mengatur menganai itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama, sebagaimana  yang diatur di Pasal 7 angka 3 huruf (c) dan (e) Kompilasi Hukum Islam. Huruf (c) berbunyi: Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan sedangkan Huruf (e) berbunyi: Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun untuk alasan yang lain-lain yang tidak termasuk pada keempat alasan di atas, dapat menggunakan alasan pada huruf (e) yaitu perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberadaan huruf (e) merupakan solusi bagi setiap perkawinan yang tidak tercatat (misalnya itsbat poligami), namun tidak dapat dimohonkan isbat nikah ke Pengadilan Agama dengan menggunakan alasan menurut huruf (a), (b), (c) maupun huruf (d).

Dengan demikian, ketidakjelasan rumusan huruf (e) di atas dapat dipahami bertujuan agar setiap itsbat nikah yang tidak tertampung dengan alasan huruf (a), (b), (c) dan (d), tetap dapat diitsbatkan pernikahannya, yaitu melalui huruf (e). Dengan kata lain bahwa dalam hal permohonan itsbat nikah, disamping ada ketentuan pasal-pasal yang tertutup dan kaku, terdapat pula ketentuan pasal yang terbuka dan lentur, yang bertujuan agar dapat memberikan perlindungan hukum yang optimal kepada seluruh masyarakat Islam Indonesia. Pasal 7 angka 3 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam merupakan ketentuan yang sangat lentur sehingga memungkinkan setiap perkawinan dapat dimohonkan itsbat nikahnya dengan alasan tersebut. Dengan adanya pasal yang flekibel tersebut, Hakim Peradilan Agama atau penegak hukum harus menggunakan otoritasnya dalam perspektif politik hukum yang berkeadilan, yang prinsipnya Hakim dalam menjalankan aktivitas dilakukan dengan mempertimbangkan dan menentukan pilihan yang tepat berkaitan dengan tujuan hukum dan disesuaikan dengan realitas kehidupan bermasyarakat. Olehnya itu maka, hakim dituntut untuk mencari alas hukum serta ratio legis yang mengizinkan pengadilan agama menerima perkara permohonan isbat nikah meski perkawinan yang dimohonkan itsbat tersebut terjadi karena poligami sirri.17

Terdapat beberapa alasan mengapa hakim tidak boleh menolak perkara permohonan isbat nikah. Alasan yang pertama adalah adanya asas ius curia novit yang mengikat hakim sehingga hakim dianggap mengetahui dan memahami hukum isbat nikah. Asas ini mengatur bahwa hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan bahwa aturan atau ketentuan hukumnya tidak jelas, namun sebaliknya hakim diwajibkan untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya.18 Disamping itu, terkait pula dengan kebebasan hakim untuk menemukan hukum atas suatu perkara yang tidak memiliki aturan hukum yang jelas (rechtsvacuum) sebagiamana diatur

Dalam ketentuan Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur bahwa hakim diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Alasan lainnya terkait dengan penemuan hukum (rechtvinding). Dengan adanya kebebasan hakim untuk menemukan hukum atas suatu kasus yang tidak ada ketentuan hukumnya, maka hakim dapat menggunkaan pendekatan sosiologi hukum untuk menemukan dan menelaah kebenaran atas suatu kasus. Melalui pendekatan ini hakim dapat melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan terkait dengan tujuan untuk mengisi kekosong hukum sehingga tidak terjadi suatu kebuntuan hukum. 

Dengan demikian, ketika kondisi masyarakat berubah, maka hakim dalam penerapan dan penegakan hukum juga harus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam dinamika kehidupan masyarakat19. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam yang mengatur bahwa demi tertibnya perkawinan bagi masyarakat Islam, maka setiap perkawinan harus dicatat dan dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan

Pegawai Pencatat Nikah. Kemudian ditekankan pula jika tidak dibawah pengawasan maka tidak mempunyai kekuatan hukum. Terhadap pasal tersebut kita dapat menafsirkan bahwa: pertama, tidak mempunyai kekuatan hukum bukan bermakna suatu perkawinan tidak sah dan kedua, salah satu tugas pengawasan pegawai pencatat nikah adalah melihat apakah rukun, syarat terpenuhi serta tidak terdapat larangan pernikahan. Oleh karena poligami sirri dilakukan tidak dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah maka solusi hukum yang ditempuh adalah istbat nikah sebagaimana diatur dalam pasal 7 Kompilasi hukum Islam. Dalam isbat nikah, majelis hakim melakukan pemeriksaan apakah rukun dan syarat terp enuhi serta tidak terdapat larangan pernikahan. Sehingga tugas pegawai pencatat nikah, terpenuhi dengan pemeriksaan tersebut. Terkait kekhawatiran terjadinya penyelundupan hukum dalam istbat poligami, dapat diminimalisir dengan menerapkan, hal-hal sebagai berikut:

a. Mengumumkan permohonan isbat nikah. Ketua Majelis Hakim 3 hari setelah menerima penetapan majelis hakim, membuat penetapan hari sidang sekaligus memerintahkan jurusita pengganti untuk mengumumkan permohonan pengesahan nikah tersebut 14 hari terhitung sejak tanggal pengumuman pada media massa cetak atau elektronik atau sekurang kurangnya diumumkan pada papan pengumuman Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah. Majelis Hakim dalam menetapkan hari sidang paling lambat 3 hari setelah berakhirnya pengumuman. Setelah hari pengumuman berakhir, Majelis Hakim segera menetapkan hari sidang;

b. Pengajuan isbat nikah mutlak dengan mengemukakan alasan serta kepentingan yang jelas;

c. Permohonan isbat nikah diajukan secara kontentius. Bersifat kontentius dengan mendudukkan istri atau suami yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak termohon jika proses pemeriksaan permohonan isbat nikah yang diajukan oleh salah seorang suami atau istri, produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi; Pihak yang dirugikan terhadap permohonan isbat nikah tersebut dapat mengajukan intervensi selama masih dalam proses;

d. Pihak yang dirugikan terhadap permohonan isbat nikah tersebut dapat mengajukan pembatalan perkawinan bila permohonan isbat nikah telah diputus Pengadilan Agama. Mantan Ketua Mahkmah Konstitusi, Mahfud MD menyatakan bahwa perkawinan sirri tidak melanggar konstitusi, karena dijalankan berdasarkan akidah Agama yang dilindungi Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan Harifin A. Tumpa, mantan Ketua Mahkamah Agung berpandangan bahwa kalau perkawinan yang tidak dicatatkan merupakan gejala umum dan didasarkan atas itikad baik atau ada faktor darurat, maka hakim harus mempertimbangkan. Isbat nikah diperlukan bagi pelaku nikah sirri untuk mendapatkan jaminan hukum (pasal 6 ayat (2) KHI). Karena dengan adanya penetapan terhadap poligami sirri, pelaku poligami sirri memiliki dasar untuk mendapatkan buku nikah (pasal 7 ayat 1 KHI). Jaminan hukum yang dimaksud tentu akan berdampak pada peningkatan status sosial isteri kedua di masyarakat yang dulunya sirri kini menjadi resmi. Yang dulunya Istri kedua (yang dinikahi secara sirri) tidak dapat dibawa ke acara-acara resmi. Yang dulunya untuk melakukan aktifitas sosial, suami mengontrol kebebasan istri kedua. Hal-hal tersebut tidak lagi terjadi. Selain itu perubahan pula terjadi pada status anak serta hak dalam harta bersama dan warisan dihadapaanhukum.

Isbat nikah poligami sirri memiliki sisi positif dan negatif. Dari sisi positifnya, isbat nikah diperlukan bagi pelaku nikah sirri untuk mendapatkan jaminan hukum (pasal 6 ayat (2) KHI). Karena dengan adanya penetapan terhadap poligami sirri, pelaku poligami sirri memiliki dasar untuk mendapatkan buku nikah (pasal 7 ayat 1 KHI). Jaminan hukum yang dimaksud tentu akan berdampak pada peningkatan status sosial isteri kedua di masyarakat yang dulunya sirri kini menjadi resmi. Selain itu perubahan pula terjadi pada status anak serta hak dalam harta bersama dan warisan dihadapan hukum. Sedangkan dari sisi negatifnya, apabila poligami sirri itu dikabulkan dan atau itsbat nikahnya diterima, itu berarti telah mengakui dan membenarkan suatu perbuatan yang telah menyimpang dan atau melanggar hukum. Dampak tidak langsungnya adalah terjadi penegasian (peniadaan/penghilangan) nilai-nilai yang hendak dilindungi oleh ketentuan perundang-undangan mengenai syarat poligami. 

Artinya bahwa, upaya pembuat undang-undang untuk melindungi nilai yuridis, sosiologis, dan filosofis melalui pemberlakuan syarat-syarat poligami dengan sendirinya hapus dengan pengesahan atau legalisasi praktek poligami tanpa izin.

Olehnya itu dua sisi tersebut sisi KHI memberikan legastimasi nikah Sirri melalui mekanisme isbat nikah.

Keberadaan poligami sirri melanggar ketentuan syarat peraturan perundang-undangan  Nomor 1 tahun 1974

Artinya  konteks undang-undang dan peraturan lain menjadi kotrakdisksi antara satu dengan yang lain mengenai poligami sirri  dan dalam kondisi sosial masyarakat poligami  sirri banyak tidak diinginkan oleh para wanita

Seharusnya poligami sirri tidak dilakukan,secara serta merta oleh para lelaki dan perempuan mengingat ada berbagai faktor yang menyertai nikah sirri tersebut seperti  karena ada jarak waktu antara pernikahan sirri yang dilakukan dengan pelegalan nikah sirri melalui isbat nikah di Peradilan Agama, itupun belum tentu dikabulkan. Selisih waktu tersebut mungkin akan merugikan pihak-pihak tertentu terutama istri dan anak. Terlebih walau bagaimanapun pernikahan dan isbat nikah yang tercatat lebih mulia karena dilihat dari sisi hukum lebih memberikan kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi para perempuan untuk mendapatkan indentitas  resmi oleh negara dan dapat hargai dilingkungan masyarakat.**(red)

Tidak ada komentar