Grid

GRID_STYLE

Breaking News

latest

Dinamika Suku Sula di Era Modernisasi

Catatan : Dosen Fisip UMMU Dan Tenaga Ahli DPR.RI Maluku Utara KoranMalut.Co.Id - Kabupaten Kepulauan Sula sebelum pemakaran daerah otonomi ...


Catatan : Dosen Fisip UMMU Dan Tenaga Ahli DPR.RI Maluku Utara

KoranMalut.Co.Id - Kabupaten Kepulauan Sula sebelum pemakaran daerah otonomi baru pada tahun 2013, Sula dikenal dengan Sanana, karena pada saat itu Maluku Utara masih menjadi kabupaten dibawah Provinsi Maluku Ambon dan Sanana menjadi ibu kota kecamatan. Suku Sula pada umumnya terdiri atas 4 suku yakni suku Fatcei, Fahahu, Fagudu dan suku Mangon empat suku di Sula ini 100 % beragama Islam. Tapi empat suku tersebut sangat toleran dan harmonis dengan suku atau etnis dan agama lain yang datang di Sula baik etnis arab, china, bugis, makassar, jawa, sumatra, buton, dll. Begitu juga dengan agama kristen katolik, kristen protestan, hindu dan budha. Terbukti sampai saat ini kehidupan sosial budaya dan keagamaan berjalan secara harmonis, aman dan damai. Bahkan Pilkada ditahun 2015 masyarakat Sula juga memilih calon bupati Hendarta Theis etnis china non muslim yang saat ini menjadi bupati Sula. 

Moto suku Sula adalah "Dad Hia Ted Sua" (Bersatu Membangun Sula). Empat suku tersebut memiliki dialektika bahasa yang berbeda-beda tapi memiliki makna hampir sama, misalnya kalau sebutan 'makan' suku Fatcei menyebutnya 'gaya' dan suku Fahahu menyebutnya 'giya' tapi memiliki makna yang sama yakni 'makan'. Seni dan budaya Suku Sula yakni gambus, ronggeng gala/harmonika, silat, Baka Yab Hai (kasi injak kaki dengan tanah) pada saat menyambut tamu, Lom Poa du Hoi (baku bantu) pada saat anak-anak ingin sekolah dan menikah, dll. Suku Sula dikenal dengan pekerja keras, rajin, ulet, jujur, loyal dan tekun serta mencintai dunia pendidikan baik ilmu pengetahuan alam maupun agama. Suku Sula juga melahirkan para pejuang kemerdekaan seperti Ismail Sangaji (Digoel), dll yang diasingkan bersama Ir. Soekarno di Boven Digoel. 

Dilihat dari bahasa, seni, budaya dan sifat suku orang Sula maka kemungkinan empat suku ini kehidupannya sangat dipengaruhi oleh budaya arab dan jawa. Misalnya moto 'Dad Hia Ted Sua' ini sama dengan moto negara 'Bhineka Tuggal Ika' (berbeda-beda tetapi kita tetap satu) yang dipengaruhi oleh budaya jawa dan budaya 'Lom Poa  du Hoi' sama dengan budaya gotong royong. Bahasa, sifat dan seni banyak diwarnai oleh budaya arab dan jawa misalnya kata 'balik' dalam bahasa Sula di sebut 'alif', gambus dari arab, dll. 

Namun berjalannya waktu sifat, seni dan budaya tersebut mengalami pergesaran (tergerus) oleh jaman (modernisasi). Empat suku ini dalam sejarah sesungguhnya bersaudara, namun ketika memasuki era modernisasi, seperti Pilkada kadangkala terjadi silang pendapat bahkan bisa pecah kongsi diantara sesama, hanya karena memiliki pilihan politik yang berbeda. Padahal itulah esensinya dari Pilkda yang demokratis, tidak mungkin menyatukan seluruh pendapat dan pilihan yang berbeda. Seharusnya kita harus berbesar hati dan dewasa untuk menerima perbedaan dan mengakui pilahan yang berbeda tersebut. Tugas masyarakat dalam Pilkada hanya memilih kandidat yang terbaik dan masing-masing harus bekerja untuk menghidupkan keluarganya, tidak perlu berargumen sampai menimbulkan konflik. Jika terjadi konflik yang rugi dan menderita adalah kita sendiri, hal ini karena mungkin kita sudah lupa bahwa empat suku tersebut adalah bersaudara. 

Sebelum memasuki era modernisasi pada saat hajatan pernikahan, hitanan, dll, biasanya acara serimonial suku di Sula adalah ronggeng gala/harmonika, silat dan gambus. Namu setelah memasuki era modernisasi seni tersebut sudah hampir hilang yang ada adalah joget (pesta pora) baik pada saat acara pernikahan, hitanan anak, merayakan ulang tahun, dll. Padahal budaya ini adalah budaya barat. Ada bedanya antar ronggeng gala/harmonika, gambus dan joget. Kalau ronggeng dan gambus dibuat dilorong  dan dalam rumah, itupun hanya dua atau tiga jam atau setengah hari dan sulit untuk mendapatkan orang mabuk. Tapi kalau joget dibuat ditengah jalan pada malam hari sampai pagi dan pasti kita mendapatkan orang mabuk dan berkelahi. Ini sudah pasti menganggu pengendara jalan, mengganggu orang tidur, menganggu orang solat subuh, mengganggu keamanan dan kenyamanan masyarakat. 

Berkembangnya waktu bahasa Sula (lokal) empat suku di Sula sudah hampir punah. Padahal bahasa lokal adalah bahasa persatuan orang Sula yang wajib dibiasakan dan dilestarikan dalam kehidupan hari-hari. Namun memasuki era modernisasi bahasa Sula mengalami pergesaran yang luar biasa, hampir hilang. Saat ini anak-anak, remaja dan para pemuda di Sula baik di desa dan di kota hampir sama sekali tidak mengetahui dan memahami bahasa Sula. Ketika ditanya dengan bahasa Sula, mereka jawabannya dengan bahasa Indonesia. Kemudian mereka beralasan tidak bisa menjawab dengan bahasa Sula karena sulit menyebutnya tapi mereka memahami apa yang disampaikan. Sangat sedih dan miris melihat fenomena generasi Sula mengalami distorsi bahasa Sula seperti ini. Penyebab dari semua ini kemungkinan karena ada anggapan bahwa bahasa Sula tidak moderen, tidak mau menggunakan bahasa Sula karena malu diketahui sebagai orang Sula (sanana) dan mungkin sebagian orang tua yang tidak mau mengajarkan bahasa Sula kepada anak-anaknya. 

Persoalan bahasa Sula yang hampir punah ini perlu kesadaran kolektif dari seluruh stakeholder di Sula, baik pemerintah daerah, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda. Sudah saatnya pemerintah daerah membuat Peraturan Daerah (Perda) untuk mewajibkan bahasa Sula dibudayakan dalam kehidupan hari-hari, terutama kehidupan keluarga dan dalam acara adat serta dimasukkan dalam kurikulum pendidikan untuk diajarkan kepada anak-anak SD. Perlu kesadaran orang tua dan pemuda di Sula untuk membiasakan bahasa Sula pada saat kumpul bersama orang Sula. Kita perlu belajar dari orang China, Jawa, Bugis dan Makassar yang membiasakan bahasa daerahnya dalam kehidupan hari-hari, mungkin karena mereka menyadari bahwa bahasa daerah adalah bahasa persatuan yang dapat mempererat hubungan keluarga, mencintai kampung halaman, dan bahasa rahasia pada saat membicarakan hal-hal yang bersifat rahasia atau sensitif yang tidak perlu diketahui oleh orang lain. Misalanya kalau dalam bahasa Sula, jika di rumah tidak ada gula, tidak ada beras, tidak ada garam, dll. Maka ketika tamu yang bukan orang Sula berkunjung ke rumah, maka ketika suami meminta bantu istri atau orang tua meminta bantu anak-anak buat teh untuk tamu tapi gula tidak ada, maka cukup dengan menggunakan bahasa  Sula bahwa "gua dahi moya" (gula tidak ada) maka dengan mudah suami atau orang tua memberikan uang untuk membeli gula tapi tidak diketahui oleh tamu tersebut. Begitu juga ketika beras dan garam tidak ada. Dengan demikian, jika kita tidak menginginkan bahasa Sula hilang, maka marilah kita membiasakan bahasa Sula dalam kehidupan hari-hari, budayakan budaya dan seni lokal kita, dan janganlah kita tecerai berai karena kepentingan politik sesaat. Sesungguhnya masa depan peradaban Sula ada di tangan kita semua. 

Pekerjaan suku Sula pasca kemerdekaan kebanyakan adalah petani, nelayan tukang kebun, dan buruh tapi mereka sangat rajin, ulet, tekun dan pekerja keras juga terkenal mencintai dunia pendidikan baik pengetahuan alam maupun agama. Makanya generasi Sula sebagian besar berpendidikan tinggi. Namun sayangnya dibangku kuliah (studi) kebanyakan mengambil sarjana keguguran baik pendidikan umum maupun agama, akhirnya jadi PNS tapi pengembangan karier birokrasi palingan sampai tingkatan kepala sekolah. Agar kedepan generasi mudal Sula eksis diseluruh sektor kehidupan jaganlah malas dan bosan untuk menempuh studi di perguruan tinggi, karena untuk merubah sebuah peradaban harus dengan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, kedepan jika studi di perguruan tinggi jangan hanya mengambil jurusan keguguran tapi harus lebih banyak mengambil jurusan tehnik kimia, tehnik fisika, tehnik sipil, tehnik pertambangan, tehnik industri, bisnis, ekonomi, hukum, politik, pemerintahan, kedokteran, kesehatan, pertanian, perikanan, dll. Jika ini yang kita lakukan maka yakinlah generasi Sula mampu eksis dimasa depan tapi kalau tidak bisa, kita akan menjadi penonton di negeri sendiri. 'Siapa kita, kita adalah Sula, orang Sula hebat., akhirinya.

"Salam Akal Sehat", Amanah Upara. **(Red)

Tidak ada komentar