Grid

GRID_STYLE

Breaking News

latest

Pemilu 2024: Presiden Jokowi Posisi Tepat Sebagai Negarawan

Amanah Upara, Akademik UMMU Ternate KoranMalut.Co.Id - Presiden republik Indonesia memegang dua jabatan yakni sebagai kepala pemerintahan ju...

Amanah Upara, Akademik UMMU Ternate

KoranMalut.Co.Id - Presiden republik Indonesia memegang dua jabatan yakni sebagai kepala pemerintahan juga sebagai kepala negara. Dua jabatan ini memiliki tugas dan wewenang yang berbeda. Tugas dan wewenang presiden tercantum dalam pasal 4 ayat 1 UUD 1945, tentang peraturan presiden adalah kepala kekuasaan eksekutif dalam sebuah negara. Masa jabatan presiden dan wakilnya maksimal 5 tahun. Kemudian presiden bisa mencalonkan diri untuk satu periode lagi. Selain itu presiden juga sebagai panglima tertinggi negara dan juga sebagai pembina politik di Indonesia. 

Tugas dan Wewenang Presiden sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yakni:  pertama, sebagai Kepala Pemerintahan Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 4 ayat 1). Kedua, presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya (pasal 5 ayat 2). Ketiga, presiden mengangkat dan menghentikan menteri-menteri (pasal 17 ayat 2). Keempat, presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang (pasal 20 ayat 4). Kelima, rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (pasal 23 ayat 2). Keenam, anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden (pasal 23F ayat 1). Ketujuh, calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudusial (KY) kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden (pasal 24A ayat 3). Kedelapan, anggota KY diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR (pasal 24B ayat 3). Kesembilan, MK mempunyai 9 orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh presiden, yang diajukan masing-masing 3 orang oleh MA, 3 orang oleh DPR, dan 3 orang oleh Presiden (Pasal 24C ayat 3).

Tugas Presiden Sebagai Kepala Negara yakni: Pertama, memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10). Kedua, menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain dengan persetujuan DPR (Pasal 11 ayat 1). Ketiga, menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain dengan persetujuan DPR (Pasal 11 ayat 2). Keempat, menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12). Kelima, mengangkat duta dan konsul, dalam mengangkat duta, presiden memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13 ayat 1 dan 2). Keenam, menerima penempatan Duta Negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13 ayat 3). Ketujuh, memberi grasi, rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA (Pasal 14 ayat 1). Kedelapan, memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 4 ayat 2). Kesembilan, memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan Undang-Undang (Pasal 15).

Tugas dan wewenang presiden yang super kuat (power full) tersebut jika tidak dijalankan berdasarkan UUD 1945 makan akan mempengaruhi stabilitas politik dan keamanan dalam negeri. Oleh karena itu, presiden sebagai kepala pemerintahan dan juga sebagai kepala negara harus membuat dan melaksanakan kebijakan berdasarkan konstitusi UUD 1945 dan Pancasila, yang berasaskan pada asas keadilan, kejujuran dan kebijaksanaan. 

Berkaitan dengan Pemilu 2024, partai politik Golkar, Gerindra, PDIP Nasdem, PKB, PPP, PAN dan PKS melakukan manufer politik berupa lobi-lobi politik untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024. Nasdem mendeklarasikan Anis Rasid Baswedan sebagai capres, PDIP mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai capres, Golkar mengusung Airlangga Hartarto sebagai capres dan Gerindra mengusung Prabowo Subianto sebagai capres 2024. Dinamika politik nasional yang cukup memanas tersebut mendapatkan perhatian dari Presiden Jokowi, akhirnya presiden mengudang para ketua umum partai koalisi di luar Nasdem yakni PDIP, Grindra, Golkar, PKB, PAN dan PPP di istana negara dengan agenda membicarakan persoalan ekonomi menjelang Pemilu 2024. 

Namun pertemuan presiden dengan partai koalisi di istana negara tersebut memunculkan berbagai macam dugaan, spekulasi dari banyak pihak dan media. Banyak yang menduga bahwa pertemuan tersebut membicarakan koalisi politik untuk mengusung capres 2024. Nama sudah dibantah oleh istana bahwa pertemuan tersebut membicarakan persoalan bangsa terutama perekonomian negara. Dalam pertemuan tersebut ada pula yang mempertanyakan jika pertemuan tersebut merupakan pertemuan partai koalisi pemerintah tetapi mengapa Nasdem tidak diundang? Presiden Jokowi menjawabnya bahwa "Nasdem tidak diundang karena Nasdem sudah punya koalisi sendiri", dengan pernyataan presiden tersebut maka dapat diduga bahwa pertemuan tersebut tidak hanya membicarakan persoalan ekonomi tetapi juga membicarakan taktik dan strategi politik partai koalisi menjelang Pemilu 2024. 

Terlepas dari benar atau tidaknya pertemuan presiden dengan partai koalisi di Istana negara untuk membicarakan perekonomian negara atau membicarakan strategi politik menjelang Pemilu 2024. Alangkah baiknya jika pertemuan tersebut membicarakan persoalan bangsa maka secara etik Nasdem sebagai partai koalisi juga harus di undang, karena Nasdem tidak diundang maka publik menduga bahwa pembicaraan tersebut juga membicarakan suksesi presiden 2024. Oleh karena itu, jika benar dugaan tersebut maka alangkah baiknya siapapun presiden kedepan tidak boleh menggunakan fasilitas negara untuk membicarakan kepentingan politik. Jika presiden memandang dirinya juga sebagai pembina politik maka harus menjaga keseimbangan dalam politik. Silahkan saja presiden mendukung kandidat tertentu tetapi tidak boleh menggunakan fasilitas negara dan alat negara untuk memenangkan kandidat capres tertentu karena sikap tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Pemilu. Sikap politik presiden seperti ini secara tidak langsung akan dapat mempengaruhi aparatur sipil negara, alat negara lainnya dan rakyat menjelang Pemilu 2024. Inilah yang dikhawatirkan oleh berbagai macam kalangan jangan sampai melahirkan kegaduhan politik menjelang Pemilu 2024. 

Dengan demikian terlepas dari benar atau tidaknya dugaan tersebut alangkah baiknya negara harus netral pada Pemilu 2024. Presiden Jokowi dapat memposisikan dirinya sebagai negarawan sejati sama seperti mantan presiden BJ. Habibie, Abdurahman Wahid dan mantan presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang tidak berpihak kepada capres manapun. Biarkan anak-anak bangsa yang memiliki potensi dan cerdas untuk menjadi Presiden Republik Indonesia dengan bersaing secara sehat, mengadu gagasan, mengadu konsep, mengadu visi-misi (program), menyusun taktik dan strategi untuk memenangkan Pemilu 2024 secara fair dan adil. Dengan prinsip Pemilu 2024 harus demokratis, jujur, adil, bersih, berintegritas dan tanpa intimidasi. Biarlah rakyat menentukan pilihan politiknya dengan baik, bebas, mandiri dan merdeka memilih presiden supaya presiden yang terpilih adalah presiden pilihan rakyat, yang cerdas, jujur, adil dan bijak yang dapat membawa bangsa ini maju dan jauh lebih baik dan lebih bermartabat yang dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia.

Tidak ada komentar