Belajar Dari Kiki Kumalah, Oleh Taty Blasteng KoranMalut.Co.Id - Beberapa hari ini, dinding fecebook saya dipenuhi status duka meninggal...
![]() |
Belajar Dari Kiki Kumalah, Oleh Taty Blasteng |
Turut berduka cita atas kepergian Kiki Kumala, karena tragisnya kekerasan seksual oleh lelaki berhidung belang, telah menggegerkan masyarakat maluku utara serta jadi pusat perhatian bagi pelaku maupun korban. Memang kejahatan ini sukar terjadi di kalangan perempuan, Kiki adalah korban kekerasan sungguh mengganaskan.
Kasus pelecehan seksual telah menjadi momok buruk yang meruntuhkan kehidupan perempuan, namun tak jarang pelaku selalu beraksi dalam kesempatan baik secara langsung mapun tidak langsung, kasus seperti ini lumrah merambat kepenjuru dunia, dimulai dari kekerasan rumah Tangga, atau keluarga seperti seorang bapak tega menggauli anaknya, terjadi beberapa bulan lalu di Kota Ternate, "bapak yang menghamili anaknya", dan sebagainya nyatanya merusak moralitas tatanan negara. Bukan hal baru lagi, ketika kekerasan itu terjadi, namun betapa anak-anak perempuan menjadi korban dari watak bezat tanpa peduli penderitaan yang dialami korban.
Kejadian yang menimpa Kiki Kumala sontak mengkonstruksi phisikis setiap orang tua yang punya anak perempuan. Betapa tidak, wacana tersebut melahirkan ketakutan orang tua atas anaknya, yang barangkali anak perempuan lebih di kurung di rumah, dan dibungkam ruang geraknya. Apalagi ditambah sehari setelah mayatnya ditemukan sebagian dari pengguna Media Sosial seperti Facebook, menulis kan status seolah-oleh status tersebut mengajak pembaca terutama perempuan merasa tanpa daya "lemah" dan harus di jaga kemana saja. tanpa memedulikan si pelaku, semacam penjahat yang maskulin biasa saja melakukan kekerasan seksual.
Dengan demikian, sasaran atas kasus pelecehan seksual adalah, ruang gerak perempuan terbatasi dengan alasan-alasan agar terhindar dari kejahatan eksternal, sehingga faktor domestik menjadi determenisme yang dipertahankan dengan memperkuat status quo.
Ditambah dengan wacana struktural menjadi takdir buatan ditempelkan di tubuh perempuan sendiri, serta nampak mendarah daging dikalangan anak perempuan dengan mitologi kepercayaan yang masih saja disanjung sampai saat ini. Tentunya kedudukan perempuan lebih diinferiorkan dengan stigmatisasi dengan pelebelan secara empiris dan fundamentalis melekat di tubuh perempuan.
Dalam perspektif tersebut tidak menutup kemungkinan wacana perempuan terkunstruktif seperti mengutip (De Laurentis 1986;14) topik diksusi tidak lagi tentang raga perempuan, seperti yang ditimbulakan di balik representasi hubungan kelas, ras, bahasa, dan sosial yang beraneka macam. dan jika raga perempuan dibicarakan, maka tidak dilihat raga itu dalam realitas empirisnya, tapi dalam dimensi metaforisnya, yaitu sebagai "raga yang lemah lembut" dibentuk oleh dan membentuk jaringan hubungan kekuasaan sosial (Bordo 1989).
Sehubungan dengan pengaruh vital, seolah rumah adalah penjara bagi perempuan, seperti kisah-kisah Kartini yang dituliskan oleh Pramudya Anantoer, dalam Bukunya Panggil Saja Aku Kartini, jelas mengajak kita mengingat kembali tentang kisah Kartini yang di kurang di rumah selama bertahun-tahun, serta tunduk dan patuh terhadap ayahnya. Karena larangan dan kediktatoran kaum ningrat terhadap pribumi, demikian kartini menuliskan surat kepada sahabat di Belanda atas keresehan terhadap realitas sosial ketika itu. Namun apresiasi diberikan kepada Kartini, saat kaum pribumi memanggil Nyai, ia dengan lantang menolak, dan mengatakan "Panggil Aku Saja Kartini" seperti pada judul buku Pramudya.
Dari kasus-kasus pelecehan, mari belajar dari kematian Kiki Kumala, bahwa kejahatan seksual adalah perilaku paling buruk di atas bumi. Sehingga hukuman sudah barang tentu diberikan setimpal terhadap pelaku berwatak bezat.
Namun belajar dari Kematian Kiki juga kunci perhatian serta kewaspadaan tidak hanya ditujukan kepada perempuan, namun laki-laki pun demikian diberikan perluasan wacana atas perilaku yang memanfaatkan keburukan seksual jelas sering menimpali perempuan.
Peran orang tua juga perlu disampaikan kepada anak laki-laki maupun perempuan, sehingga kesannya tidak monoton ke perempuan saja, agar sama-sama menjaga dan melindungi kekerasan apapun yang terjadi, relasi rasional sudah harus dibangun dengan mengedepankan perlikau positif terhadap sesama manusia.
Perhatian instansi terkait, pemerintah dalam hal ini pihak kepolisian agar mengusut kasus tuntas kasus ini, karena keluarga Korban pastinya masih merasa terpukul dan demi menjawab tuntutan jejaring aksi solidaritas peduli terhadap Kiki Kumala agar kiranya pelaku dihukum setimpal.
Dan juga pemerintah harusnya menseriusi menyangkut masalah perempuan, Dan juga pemerintah harusnya menseriusi menyangkut masalah perempuan, dengan membuat sosialisasi mengkampanyekan ke pelosok desa dengan dalil stop kekerasan terhadap perempuan agar tersampaikan ketelinga masyarakat secara holistik. Dengan demikian, segala bentuk penindasan dapat teratasi.
Saya juga mengajak kepada kita semua agar sama-sama menyuarakan kekerasan seksual yang menimpa Kiki Kumala, sehingga sesegera mungkin dituntaskan dengan pelaku harus dihukum mati supaya efek jera ini adalah pelajaran bagi siapapun yang perna melakukan kejahata dan berhenti berlagak jahat.
Mari terus di komandankan suara-suara represi atas perempuan dalam bentuk apapun, karena manusia di dalamnya terdapat laki dan perempuan memiliki kesempatan mendapatkan kebebasan untuk hidup.
Penulis : Taty Blasteng,*(Red/km)