Grid

GRID_STYLE

Breaking News

latest

Cara Menjaga Hutan Dan Menebang Pohon Suku Tobelo

Cara Menebang Pohon Suku Tobelo Koranmalut.Co.Id - Masyarakat adat memiliki motivasi yang kuat dalam melindungi hutan dibandingkan piha...

Cara Menebang Pohon Suku Tobelo
Koranmalut.Co.Id - Masyarakat adat memiliki motivasi yang kuat dalam melindungi hutan dibandingkan pihak-pihak lain karena menyangkut keberlanjutan kehidupan mereka, pengetahuan asli yang dimiliki bagaimana memelihara dan memanfaatkan sumber daya hutan yang ada di dalam habitat mereka. Memiliki hukum adat untuk ditegakkan serta memiliki kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis antara mereka dengan ekosistem hutannya.

Dalam pandangan masyarakat adat tobelo (o hongana/tugutil), bahwa tumbuh-tumbuhan pada dasarnya perlu dan ingin diperhatikan atau diperlakukan secara baik. Karena diyakini bahwa perlakuan yang baik terhadap tumbuhan yang dimanfaatkan maka setiap tumbuhan yang dipelihara akan memberikan keuntungan dan kenyamanan bagi manusia.

Merusak atau memanfaatkan secara berlebihan berarti akan merusak sumber kehidupan yang dimiliki sehingga akan menyulitkan kehidupan anak-cucu (ngofa ngofaka). Pada umumnyabmasyarakat adat tobelo (o hongana/togutil), telah mengetahui dan memanfaatkan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan untuk kelangsungan hidupnya sehari-hari (Sabaria Niapele;2014).

Ada beberapa tradisi yang diterapkan oleh masyarakat adat tobelo (o hongana/togutil)

1. Buko
Buko adalah istilah yang menjelaskan adanya larangan untuk merusak atau mengambil tanaman dalam suatu kebun atau kawasan tertentu dalam satu periode waktu tertentu pula. Buko ini umumnya dilakukan pada areal atau kawasan yang menjadi milik pribadi maupun yang umum.

Suatu kawasan yang telah dikenai buko biasanya ditandai dengan tanda khusus seperti rumah-rumahan kecil berukuran 50x50 cm lalu digantungkan sebuah botol yang diikat pita/kain kecil atau adanya pohon tertentu yang digantung botol dengan pita kecil atau tanda khusus lainnya. Tanda ini kemudian diletakkan di setiap penjuru jalan menuju kekawasan yang dilarang baik kebun milik sendiri (Dumule), Dumule ngone mata-mata (kebun milik bersama) ataupun areal mialolingiri.

Bila ada yang melanggarnya akan sakit ataupun mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan ataupun bahkan dapat membayakan dirinya. Larangan ini berlaku umum bagi siapa saja tidak terbatas pada masyarakat adat tobelo (o hongana/togutil).

Pemasangan buko umumnya dilakukan secara perorangan maupun kelompok dengan maksud untuk melindungi jenis-jenis tanaman atau sumber mata pencaharian yang dimiliki agar tidak dirusakkan atau diambil dalam jangka waktu tertentu, sekaligus sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur.

Pemasangan buko biasanya dilakukan oleh pemilik kebun sendiri, dukun atau o dimono
(pemimpin adat), yaitu berupa peletakan tanda buko di areal dimana sering dilalui masyarakat atau ditempat yang mudah dilihat. Tidak ada upacara ritual adat apapun untuk dalam pemasangan buko. Adanya buko ini maka secara tidak langsung sebenarnya masyarakat telah melakukan upaya mengeksploitasi keanekaragaman tumbuhan secara bijaksana atau tidak berlebihan.

Meskipun tidak ada sanksi yang diatur dalam aturan adat bagi pelanggarnya namun masyarakat adat tobelo (o hongana/togutil), sangat percaya bahwa bila ada yang melanggar akan bisa sakit atau mengalami hal-hal yangbtidak baik bahkan dapat mencelakai dirinya. Itulah sebabnya mereka sangat menghormatinataupun menghindari melakukan pelanggaran.

Selain itu setiap anggota masyarakat yang pasti dikenai nagimi atau denda baik untuk lahan pribadi maupun lahan bersama. Kebiasaan membayar denda ini merupakan suatu hal yang sudah sering dilakukan dalam kehidupan masyarakat adat tobelo (o hongana/togutil), apabila melakukan pelanggaran terhadap suatu lahan milik pribadibbiasanya berhubungan langsung dengan pemiliknya.

Bila itu merupakan lahan masyarakat secara umum atau areal Mialolingiri maka pembayaran denda di lakukan di depan o dimono (orang yang dituakan/semacam kepala suku). Denda tersebut akan di manfaatkan untuk keperluan bersama. Bila dikaji lebih dalam sebenarnya sistem ini dapat bermanfaat bila diterapkan bagi upaya pelestarian plasma nutfah terutama bagi jenis-jenis plasma nutfah tumbuhan yang bernilai ekonomis tinggi ataupun yang berpotensi untuk dikembangkan.

Namun hal ini tentu saja diperlukan sosialisasi lebih lanjut dan harus ikuti dengan adanya suatu aturan yang jelas atau minimal aturan yang disepakati bersama. Hal ini disebabkan karena sistem buko ini dalam kenyataannya masih dipahami dan dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat magis dan belum dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat terutama masyarakat lokal lainnya.

Sebagaimana halnya masyarakat adat tobelo (o hongana/togutil), adat budaya yang mengarah keperlindungan lingkungan dalam masyarakat sebenarnyanmasih nampak dalam keseharian masyarakat maluku utara pada umumya antara lain budaya adat “Sasi”, “Matakao”, “Uru”, dan penentuan waktu panen sesuatu tanaman secara bersama-sama atau penanaman tanaman langka dan tebang pilih. Budaya ini ternyata telah menahan laju kepunahan tanaman, seperti ditemukannya beberpa pohon tanaman cengkeh AFO yang telah berumur 400 tahun di ternate, hutan pala di calabay bacan dan hutan cengkeh di kabosa bacan, dokiri di tidore dan halmahera serta hutan kenari di bacan dan halmahera yang telah berumur sekitar 350 tahunb (Hadad et al. 2002).

Konsep pandangan hidup masyarakat adat tobelo ( o hongana/togutil), bahwa tumbuhan sebagaimana halnya manusia diyakini memiliki jiwa dalam arti bahwa tumbuhan juga berhak untuk hidup. Untuk itu maka manusia harus dapat memperhatikan ataupun memanfaatkan secara bijaksana karena sebagaimana sumberdaya lainnya seperti tanah dan air, tumbuhan adalah sumber kehidupan bagi manusia. Anak-cucu (o ngofa-ngofaka) atau dapat disebut juga manusia yang masih hidup tidak boleh menguasainya secara berlebihan, namun berkewajiban untuk memanfaatkan secara bijaksana bagi kehidupan mereka. Hal ini bermakna bahwa tidak boleh melakukan kerusakan di areal atau kawasan yang menjadi milik bersama.

Kewajiban memelihara sumberadaya alam termasuk tumbuhan erat kaitannya kepercayaan asli suku ini yang masih melekat dalam kehidupan masyarakat adat tobelo ( o hongana/togutil). Konsep penghormatan terhadap leluhur masih tetap berpengaruh dalam kehidupan masyarakat adat tobelo (o hongana/togutil), terutama berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang dimiliki bersama.

2. Nonaku (Tanda lahir)
Nonaku merupakan suatu tradisi dimana setiap anak yang lahir dalam suatu kelompok diberi tanda dengan cara menanam pohon ditempat dimana bayi dilahirkan dan apa bila bayi dilahirkan tersebut meninggal maka kelompok tersebut akan meningalkan tempat tersebut dan mencari tempat lain sebagai tempat tinggal baru.

Tradisi nonaku dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Jou Madi Hutu atas anugerah yang telah diberikan. Tradis ini terus dijaga danbdipertahankan hingga saat ini. Nonaku juga berfungsi untuk mengetahui umur seorang anak yang lahir kemudian ditanam pohon tersebut dan sebagai tanda kenangan bagi kelompok yang pernah tinggal di daerah tersebut. Ketika pohon yang ditanam sudah besar maka pohon tersebut merupakan hak untuk bayi yang dilahirkan ditempat tersebut. Selain itu nonaku juga berfungsi sebagai tanda atas bayi yang meningal dimana ketika kelompok tersebut melewati tempat tersebut dan melihat pohon yang ditanam sebagai tanda lahir maka kelompok tersebut akan mengingat kembali bahwa apabila anak mereka yang meninggal masih hidup maka akan sudah besar seperti pohon yang ditanam.

3. Mang Ngadodo Gamu Pahiyara (Batasan Pemeliharaan)
Dalam hal ini yang menjadi batasan masyarakat adat tobelo (o hongana/togutil), adalah batasan akan pengrusakan-pengrusakan lingkungan hutan yang bisa mengakibat berkurangnya sumber-sumber kehidupan mereka.

Dengan adanya batasan-batasan pemeliharaan akibat kegiatan pengrusakan lingkungan hutan, diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengatasi semakin berkurangnya sumber-sumber kehidupan yang terkandung didalam hutan. Saat ini yang menjadi permasalahan didalam masyarakat adat tobelo (o hongana/togutil), adalah mulai adanya perubahan-perubahan kultur budaya akibat pola pikir dari sebagian penduduk yang telah mau berbaur dengan masyarakat dari luar.
Narasi oleh : Muhammad Diadi. **(Adhy)