KoranMalut.Co.Id - Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam UU 23 Tahun 2014 adalah eksekutif (...
KoranMalut.Co.Id - Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam UU 23 Tahun 2014 adalah eksekutif (gubernur, bupati dan walikota dan legislatif (DPRD) yang memiliki hubungan check and balance (mengawasi dan mengimbangi). Fungsi DPRD adalah legislasi (buat peraturan daerah), badjeting (penganggaran) menyusun anggaran daerah) dan pengawasan. Fungsi DPRD yang paling kuat adalah fungsi legislasi dan budjeting karena dibahas dan ditetapkan bersama-sama dengan pemerintah daerah. Fungsi yang paling sial (lemah) adalah fungsi pengawasan. Fungsi ini melekat langsung pada anggota DPRD untuk mengawasi gubernur, bupati dan walikota dalam merealisasikan anggaran, melaksanakan Peraturan Daerah (Perda) dan mengawasi kinerja kepala daerah.
Fungsi pengawasan DPRD kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah diharapkan untuk harus kuat (melekat), karena dengan pengawasan yang kuat akan melahirkan pemerintah daerah yang baik dan pemerintahan daerah yang bersih (good governance end clan governance) dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Namun ternyata fungsi pengawasan DPRD dilemahkan secara sistemik melalui UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian dijabarkan secara teknis dalam PP nomor 1 Tahun 2023 dan Permendagri Nomor 62 Tahun 2017 terkait kemampuan keuangan daerah.
UU 23 Tahun 2014 mengatur bahwa keuangan anggota DPRD melekat pada anggaran pemerintah daerah akhirnya memberikan peluang besar bagi kepala daerah untuk menekan anggota DPRD yang kritis mengawasi pemerintah daerah. Apabila Anggota DPRD kritis mengawasi pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah maka kepala daerah akan mengganggu (mengurangi bahkan tidak memberikan) hak anggota DPRD seperti anggaran perjalan dinas, reses dan poker DPRD. Padahal kunjungan kerja, reses dan poker merupakan hak anggota DPRD yang diatur dalam UU 23 Tahun 2014 dan UU 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD). Perjalanan dinas merupakan fungsi pengawasan DPRD untuk menggali atau menambah informasi terkait persoalan di daerah dan reses merupakan hak anggota DPRD untuk menjaring aspirasi konstituen di dapil (daerah pemilihan) untuk dijadikan poker berupa kebutuhan pembangunan di dapil. Analisa ini disampaikan pada saat Diskusi Bersama Dr. Drs, Bahtiar M.Si Dirjen Politik & Pemerintah Umum Kemendagri pada Bimtek anggota Fraksi Golkar provinsi, kabupaten kota se-Indonesia di Hotel Bidakara Jakarta, 11/12/2025.
Inilah bentuk pelemahan fungsi pengawasan anggota DPRD yang dilakukan pemerintah daerah. Padahal masyarakat berharap agar anggota DPRD harus dapat melaksanakan fungsi pengawasannya dengan baik namun faktanya tidak seperti yang diharapkan. Anggota DPRD baik yang oposisi dan pendukung pemerintah dilemahkan dalam melaksana fungsi pengawasannya. Jika anggota DPRD dari partai pendukung pemerintah daerah segan dalam melaksanakan pengawasan, diharapkan anggota DPRD dari partai oposisi dapat meningkatan fungsi kontrolnya kepada pemerintah daerah namun mereka juga khawatir jangan sampai hak-haknya tidak diberikan.
Jika fungsi pengawasan anggota DPRD dilemahkan maka keberadaan anggota DPRD tidak beda jau sepert bawaannya pemerintah daerah yang bekerja menyelesaikan administrasi dan menerima gaji setiap bulan. Lemahnya fungsi pengawasan DPRD kepada kepala daerah akibatnya pembangunan di daerah tidak maju, kemiskinan dan penggunaan semakin tinggi, lapangan kerja tidak tersedia dan banyak kepala daerah tersandung korupsi.
Agar memperkuat fungsi anggota DPRD terutama fungsi pengawasan kepada kepala daerah maka pertama, diharapkan agar fungsi kontrol civil society kepada pemerintah daerah dan DPRD dapat ditingkatkan. Kedua, pemerintah pusat perlu merancang UU DPRD yang mengatur hak keuangan anggota DPRD terpisah atau tidak melekat dengan anggaran pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam UU 23 Tahun 2014. Hal bertujuan agar anggota DPRD memiliki satker anggaran tersendiri seperti anggota DPR-RI. Jika anggota DPRD memiliki satker anggaran tersendiri maka akan memperkuat fungsi pengawasan DPRD kepada kepala daerah. Karena DPRD tidak lagi segan-segan untuk mengawasi pemerintah daerah. Pemerintah daerah pun tidak bisa mengotak-atik hak-hak anggota DPRD, karena anggaran anggota DPRD diatur terpisah dengan anggaran pemerintah daerah. Ketiga, pemerintah pusat perlu mendorong agar pemilihan gubernur, bupati dan walikota dipilih oleh DPRD. Jika kepala daerah dipilih oleh DPRD anggaran Pilkada yang dibiayai negara akan berkurang, biaya Pilkada yang disiapkan kandidat kecil, potensi konflik kecil dan akan menekan praktik korupsi yang dilakukan kepala daerah serta memperkuat fungsi DPRD dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat akan memperkuat pemerintah daerah (eksekutif heavy) tetapi melahirkan kesewenang-wenangan kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, karena lemahnya fungsi pengawasan DPRD. Kepala daerah dapat melemahkan fungsi DPRD melalui UU 23 Tahun 2014 yang mengatur bahwa anggaran DPRD melekat pada anggaran kepala daerah. Tetapi jika kepala daerah dipilih oleh DPRD akan memperkuat fungsi DPRD (legislatif heavy) terutama fungsi pengawasan, akhirnya kepala daerah tidak sewenang-wenang dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah karena dikontrol DPRD secara maksimal. Akan terselenggara pemerintah daerah yang baik, bersih, pembangunan maju, masyarakat sejahtera, kemiskinan dan pengangguran dapat ditekan pemerintah daerah.**().

Tidak ada komentar