Oleh: Amanah Uprah, Akademisi/ Anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Sula KoranMalut.Co.Id - Pasca reformasi 1998 sistem Pemilu di Indonesia me...
KoranMalut.Co.Id - Pasca reformasi 1998 sistem Pemilu di Indonesia mengalami perubahan yang drastis. Saat ini Indonesia mengadopsi sistem pemilu proporsional terbuka untuk legislatif (DPR, DPRD), di mana pemilih memilih langsung calon, dan sistem distrik berwakil banyak untuk DPD, serta sistem langsung untuk Presiden/Wapres dan Kepala Daerah, yang semuanya dilaksanakan secara serentak. Namun khususnya Pilkada langsung menyisahkan berbagai macam masalah yakni terjadi konflik antar pendukung, mahalnya ongkos politik, politik uang, korupsi, politisasi birokrasi, keterlibatan TNI/Polri dalam Pilkada dan lemahnya pengawasan DPRD kepada kepala daerah. Hal ini sesuai dengan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), 2010 bahwa calon kepala jika ingin terpilih menjadi kepala daerah pada Pilkada langsung perlu menyiapkan bajet sekitar 20 sampai dengan 30 Miliar.
Uang sebanyak ini apakah semuanya adalah milik pribadi calon kepala daerah? Faktanya tidak, karena calon kepala daerah kebanyakan dari pejabat negara atau daerah yang pensiun dini untuk calon kepala daerah, artinya dengan standar gaji PNS di Indonesia sampai pensiun pun tidak mungkin mereka menabung uang sebanyak itu, kecuali korupsi. Begitu juga dengan politisi dan pengusaha di daerah yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak semua memiliki uang sebanyak itu. Lalu mereka mendapatkan uang darimana untuk calon kepala daerah dan bisa terpilih? Ternyata mereka mendapatkan uang dari donatur (sumbangan) pihak ketiga oligarki dan kapitalis baik pengusaha lokal atau asing yang berinvestasi di Indonesia. Apakah sumbangan itu gratis? Tidak, jangan kita mendengar sumbangan kemudian kita beranggapan itu gratis, ternyata sumbangan tersebut dengan perjanjian (kesepakatan) jika calon kepala daerah yang dibantu terpilih proyek di daerah dikelola oleh mereka atau mereka diberikan karpet merah untuk mengeksplorasi tambang di daerah.
Pilkada langsung yang diharapkan agar masyarakat dapat memilih calon kepala daerah yang terbaik dan memiliki visi visioner untuk membangun daerah dengan baik, maju, lapangan pekerja tersedia dan pengangguran berkurang namun ternyata yang terjadi sebaliknya dan semakin tingginya praktik korupsi dan politisasi birokrasi semakin brutal di daerah. Hal ini karena kepala daerah yang terpilih hanya menjadi boneka dari para pengusaha yang menyumbangkan uangnya pada saat Pilkada dan terpenjara dengan pengaruh tim sukses untuk mengatur birokrasi di daerah. Akibatnya birokrasi tidak bisa melaksanakan fungsinya dengan baik dan kepala daerah tidak memiliki kemandirian untuk merealisasikan visi-misinya.
Pilkada langsung juga diharapkan agar kepala daerah terpilih dapat melaksanakan pemerintahan yang baik dan bersih namun ternyata banyak kepala daerah di Indonesia tersandung kasus korupsi. Hal ini karena calon kepala daerah pada saat Pilkada mengeluarkan uang begitu banyak, setelah terpilih ia berusaha untuk mengembalikan uangnya dengan cara korupsi keuangan daerah melalui proyek di daerah dan anggaran daerah lainnya. Kekurangan Pilkada langsung inilah yang menjadi dasar penting untuk menyelamatkan kepala daerah terpilih dari kasus korupsi maka alangkah baiknya Pilkada dipilih oleh DPRD karena biaya politik kecil dan dapat mengurangi peran oligarki dan kapitalis sebagai penyumbang modal politik dalam Pilkada. Ketika kepala daerah terpilih melalui pemilihan DPRD, kepala daerah akan melaksanakan fungsi dan tanggung jawab dengan baik untuk melayani masyarakat di daerah bukan lagi melayani oligarki dan kapitalis karena peran mereka sebagai penyumbang modal politik semakin kecil.
Pilkada langsung diharapkan untuk memperkuat pengawasan DPRD kepada kepala daerah namun ternyata justru melemahkan DPRD dalam melaksanakan fungsi pengawasannya. Artinya bahwa dengan adanya Pilkada langsung posisi kepala daerah sangat kuat (eksekutif heavy) dan melemahkan posisi legislatif padahal dalam UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjelaskan bahwa pemerintah daerah adalah eksekutif dan legislatif yang harus saling checks and balances (pengawasan dan keseimbangan), namun justru faktanya kepala daerah menggembosi fungsi DPRD. Diantara tiga fungsi anggota DPRD yakni legislasi, penganggaran dan pengawasan. Fungsi yang paling sial adalah fungsi pengawasan karena fungsi ini melekat langsung kepada DPRD untuk mengawasi kinerja pemerintah daerah. Tetapi fungsi legislasi dan penganggaran berjalan dengan baik karena dua fungsi tersebut dapat diusulkan dan dibahas bersama-sama legislatif dan eksekutif.
Lemahnya DPRD dalam melaksanakan fungsi pengawasan karena anggaran anggota DPRD yakni gaji, tunjangan, perjalanan dinas, reses dan pokok pikiran (Pokir) melekat dengan anggaran pemerintah daerah. Jika anggota DPRD kritis mengawasi pemerintah daerah maka kepala daerah dapat menekan anggota DPRD dengan cara memangkas uang perjalanan dinas, reses dan pokir tidak diberikan, padahal ini merupakan hak anggota DPRD yang diatur dalam UU.
Perjalanan dinas bertujuan untuk DPRD melaksanakan fungsi pengawasan dilapangan sekaligus menggali informasi. Reses bertujuan untuk anggota DPRD menjaring aspirasi konstituennya di dapil, kemudian aspirasi tersebut dijadikan sebagai Pokir untuk pembangunan di dapilnya. Namun terkadang diabaikan oleh pemerintah daerah. Dinamika politik daerah seperti ini diharapkan agar partai oposisi yang memiliki keterwakilan di DPRD mengambil sikap untuk memberikan kritik yang konstruktif kepada pemerintah daerah agar tidak melanggar UU. Masyarakat juga diharapkan utuk mengontrol atau mengawasi pemerintah daerah tetapi jika oposisi mati dan fungsi kontrol dimasyarakat lemah atau tidak ada maka akan melahirkan kesewenang-wenangan kepala daerah dalam melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya.
Dengan demikian alangkah baiknya Pilkada 2029 calon kepala daerah dipilih oleh DPRD. Pilkada dipilih DPRD dasar hukumnya Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa kepala daerah dipilih secara "demokratis". Istilah demokratis, tidak harus berarti pemilihan langsung, tetapi bisa melalui perwakilan seperti DPRD. Manfaat Pilkada dipilih DPRD yakni: 1) ongkos politiknya kecil (efisiensi biaya), sistem ini lebih efisien dan bisa menghemat biaya yang besar dalam Pilkada langsung. 2) Pilkada melalui DPRD dapat meminimalkan praktik kecurangan seperti politik uang atau keberpihakan aparat yang sering terjadi pada Pilkada langsung. 3) mengurangi polarisasi politik yang terjadi di masyarakat. 4) korupsi dapat dikurangi karena ongkos politik kecil. 5) tidak ada politisasi birokrasi, birokrasi dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. 6) memperkuat pengawasan DPRD (legislatif heavy) kepada kepala daerah. Kepala daerah tidak arogan dalam membuat kebijakan dan menghargai anggota DPRD dalam melaksanakan fungsinya, karena ia menyadari bahwa DPRD mewakili rakyat di parlemen, terpilihnya atau tidak tergantung wakil rakyat yang ada di parlemen.
Pilkada dipilih DPRD bukan untuk membajak hak politik rakyat. Masyarakat masih mempunyai hak memilih dalam pemilihan umum lainnya, seperti Pemilihan Legislatif (Pileg) DPR, RI, DPD RI, DPRD provinsi dan kab/kota dan Pemilihan Presiden (Pilpres). Pilkada dipilih DPRD akan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, demokratis dan memperkuat posisi DPRD sebagai lembaga penyeimbang pemerintah daerah. Banyak negara di dunia diantaranya Inggris, Belgia, Malaysia dan Spanyol kepala daerahnya dipilih oleh senat atau DPRD. Diantara negara tersebut, Inggris dan Belgia sukses menjadi negara demokratis dan mampu mensejahterakan kehidupan rakyatnya setelah menerapkan sistem kepala daerah dipilih oleh senat atau legislatif. Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar nomor dua di dunia diharapakan setelah menerapkan sistem Pilkada dipilih DPRD, pemerintah daerah terpilih dapat mengurangi pengangguran, kemiskinan, mensejahterakan rakyat, penyediaan lapangan kerja dan membangun pembangunan di segala bidang.

Tidak ada komentar