Tobelo, KoranMalut.Co.Id - Menyikapi permasalahan sengketa Pemilu Kada Kabupaten Halmahera Utara Tahun 2024. Jika ada pasangan Calon Bupati ...
Tobelo, KoranMalut.Co.Id - Menyikapi permasalahan sengketa Pemilu Kada Kabupaten Halmahera Utara Tahun 2024. Jika ada pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara, yang mengambil langka hukum ke Mahkamah Konstitusi, Ini tanggapan
Dekan Fakultas Hukum UNIERA, Ernest Sengi SH. MH. Mengatakan bahwa untuk mengajukan Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK) tidaklah mudah; sebelum MK masuk ke pemeriksaan permohonan lanjutan, Pemohon (pihak yang mengajukan sengketa) biasanya dihadapkan pada salah satu tantangan yakni memenuhi syarat formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 UU No. 10 Tahun 2016 yakni terkait ambang batas selisih perolehan suara pasangan calon.
Menurut Ernest,dalam pasal tersebut disebutkan beberapa kategori selisih/presentase suara dari total jumlah penduduk yang harus dipenuhi agar suatu permohonan diperiksa pokok perkaranya. Misalnya sebagai simulasi saja bahwa jika total jumlah penduduk Kab. Halmahera Utara di angka 199.935, maka menurut Pasal 158 Ayat (2) huruf a UU No. 10 Tahun 2016 ambang batasnya ada di angka 2% dari total suara sah hasil penghitungan suara oleh KPUD. Berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) bahwa 4 pasangan calon Bupati di Kabupaten Halmahera Utara masing-masing memperoleh suara sebagai berikut Paslon No. 1 sebanyak 25.222 suara, Paslon No. 2 sebanyak 22.787 suara, Paslon No. 3 sebanyak 18.973 suara dan Paslon No. 4 sebanyak 37. 898 Suara. Sehingga total suara sah diperkirakan di angka 104.880 suara. Dengan demikian maka 2% dari 104.880 adalah 2.097 suara; angka ini yang disebut ambang batas. Jadi, apabila dilihat selisih suara dari 2 paslon perolehan suara terbanyak yakni Paslon No. 1 dan Paslon No. 4, dimana selisihnya ada di angka 12.676 suara, maka selisih ini tidak masuk dan jauh dari ambang batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 UU No. 10 Tahun 2016 tersebut; dengan demikian hal ini mustahil diterima Mahkamah Konstitusi.
Meskipun dalam beberapa yurisprudensi putusan Mahkamah Konstitusi pemberlakukan syarat ambang batas ini tidak berlaku mutlak, namun pengecualian tersebut membuat pemohon mendapat tantangan lebih berat lagi yakni harus benar-benar meyakinkan Mahkamah tentang dalil-dalil yang tajam, spesifik dan konkrit pelanggaran pemilihan apa yang berdampak pada perolehan suaranya; hal ini saya pandang sebagai bentuk tantangan berat karena proses pemilihan itu sudah diatur UU tentang wewenang masing-masing lembaga dan penyelenggara pemilihan; sehingga MK hanya bertugas menyelesaikan dan memeriksa sengketa hasil; salah satu kesalahan spesifik yang pernah diputus MK misalnya yang terjadi di Pilkada Sabu Raijua yang dikabulkan MK karena paslonnya memiliki dwi kewarganegaraan.
Selain itu, semuanya pasti ditolak MK. Jadi sebaiknya mengajukan permohonan ke MK dipikir-pikir matang dulu daripada hanya membuang-buang waktu dan anggaran yang besar dan menguntungkan “pihak-pihak” tertentu saja yang menurut saya “neraka” bagi pihak pemohon, "Ungkap Erents.**(oby).
Tidak ada komentar