Grid

GRID_STYLE

Breaking News

latest

Politik Ibarat Seni Mengolah Bola Dilapangan Hijau

Amanah Upara, Akademisi UMMU & Staf Ahli DPR.RI. KoranMalut.Co.Id - Dalam permainan bola pasti ada pelatih, pemain dan penonton begitu j...


Amanah Upara, Akademisi UMMU & Staf Ahli DPR.RI.

KoranMalut.Co.Id - Dalam permainan bola pasti ada pelatih, pemain dan penonton begitu juga dalam Pemilu baik Pileg, Pilpres dan Pilkada pasti ada kandidat, tim sukses (konsultan politik) dan pemilih (masyarakat). Dalam permainan bola dan politik pasti ada pemenang dan kalah. Yang menang pasti bersuka cita merayakan kemenangan dan yang kalah pasti berduka cita (sedih) menghadapi kekalahan. Dalam pertandingan bola dan Pemilu sering melahirkan konflik antar pemain dan bahkan antara pendukung jika tidak memiliki jiwa soportifitas. Dalam permainan bola penuh dengan taktik dan strategi begitu pula dalam Pemilu. Alangkah baiknya sebelum menyerang mencari tau kelemahan dan kelebihan lawan. Kalau menyerang dari awal pasti di injury time mengalami kelalahan, akibatnya ke bobolan gol akhirnya mengalami kekalahan yang tragis. 

Agar tidak memunculkan konflik diharapkan kepada pelatih, pemain, penonton bola dan kandidat, tim sukses dan masyarakat harus memiliki jiwa soportifitas dan dewasa dalam bertanding. Pemandangan yang menggembirakan ketika kita menonton bola pada piala Eropa dan piala Dunia, biasanya tim dan penonton yang timnya kalah penuh dengan kesedihan (menangis) tapi setelah itu, mereka memeluk lawan (group) dan bahkan mencium group yang menang dengan mengucapkan ucapan selamat. Pemandangan yang penuh dengan suka cita ini seharusnya diterapkan dalam politik Pemilu di Indonesia, namun pemandangan yang penuh dengan suportifitas ini sulit untuk didapatkan dalam Pemilu di Indonesia baik Pileg, Pilpres maupun Pilkada. 

Penyebabnya karena dalam Pemilu pada saat kampanye masing-masing kandidat mempresentasikan visi-misi, sering kali saling menyerang program yang lebih utama adalah kandidat calon petahana pasti diserang oleh penantang jika visi-misinya dianggap tidak berhasil. Bahkan diantara kandidat sering kali menyerang pribadi, padahal tidak diperbolehkan dalam UU Pemilu. Sebenarnya berdebat visi-misi dan  program antara masing-masing kandidat merupakan hal biasa dalam demokrasi Pemilu. Di negara demokrasi liberal seperti Amerika Serikat menyerang visi-misi dan pribadi kandidat sangat fulgar misalnya seperti skandal korupsi, keluarga, skandal rumah tangga (perselingkuhan), dll.  Semua ini bertujuan untuk menghancurkan elektabilitas kandidat lawan politik dan menaikkan elektabilitasnya. Ketika masing-masing kandidat saling menyerang seperti ini diharapkan netralitas dari penyelenggara (KPU/D dan Bawaslu) untuk menjadi wasit yang adil dan bijak. Begitu pula wasit dalam lapangan bola. Ketika penyelenggara (wasit) tidak netral otomatis akan melahirkan konflik antar kandidat, tim sukses dan masing-masing pendukung. 

Dalam Pemilu diharapkan kedewasaan masing-masing kandidat seperti para pemain bola dan penonton untuk dapat menerima kritik, saran, masukan dan siap mengakui kemenangan lawan serta menerima kekalahannya. Yang menang dalam Pemilu harus merangkul yang kalah agar sama-sama membangun bangsa dan negara sebaliknya yang kalah menerima kekalahannya dengan lapang dada dan menerima kemenangan lawan. "Politik itu sangat dinamis hari ini menjadi lawan politik besok bisa menjadi kawan dalam politik". Yang menang tidak boleh sombong, angkuh, congkak, ego, merasa diri hebat, dll. Merendahkan diri itu mulia, Tuhan dan makhluk mencintai pemimpin yang merendahkan diri dan menyangi rakyatnya. 

Dalam politik pasti akan terjadi sirkulasi elit (pergantian kepemimpin) apakah satu priode atau dua priode tergantung keberhasilan visi-misi dan kinerjanya. Sama juga seperti permainan bola ada juga sirkulasi pemain (kandang pemain dikontrak kembali atau tidak dikontrak oleh klubnya tergantung kualitas bermainnya. Begitu pula dalam politik kadang calon petahana dipilih kembali oleh masyarakat jika visi-misi dan program kerjanya berhasil sebaliknya ada yang tidak dipilih kembali karena program kerjanya tidak berhasil, bisa jadi penantang yang dipilih oleh masyarakat karena visi-misi dan program kerja lebih visioner, berkulitas dan trek rekord yang lebih baik. Hari ini kita menjadi pemimpin dan pemain bola, tapi bisa jadi satu saat kita akan menjadi penonton dan rakyat jelata karena tidak dikontrak klub dan dipilih kembali masyarakat.**(red)

Tidak ada komentar