Oleh : Jumar Mafoloi Koranmalut.Co.Id - Bentuk pemilu sebagai jembatan mengisi jabatan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), ...
![]() |
Oleh : Jumar Mafoloi |
Pemilu, tidak hanya memberikan hak pilih secara bebas kepada rakyat. Akan tetapi ajang pemilu tentunya kita dituntut untuk serius. Bukan terobsesi dengan isu antara menang dan kalah, antara kuat dan lemah, serta antara paling layak dan tidak. Berbagai isu bablakan sering muncul dalam proses tahapan pemilu berjalan. Bukan seberapa hebat kita menciptakan isu, dan seberapa kuat kita mengendalikan. Akan tetapi Pemilu kali ini, mengharuskan kita untuk serius. Sebab Pemilu bukan untuk kepentingan Segelintir kelompok, maupun individu. Akan tetapi Pemilu sebagai ajang pengisian kekosongan jabatan publik.
Pemilu dari 2004, 2009, 2014, hingga 2019. Seharusnya kita berkaca dengan proses Pemilu sebelumnya. Bahwa Sanya Rakyat dituntut serius menghadapi pemilu. Selain sebagai peserta pemilih, Rakyat juga sebagai fungsi penyelenggara, dimana menjaga, mengawasi, dan mengontrol proses pemilu di berbagai titik yang diduga sebagai Rawan kecurangan, Mony Politik, dan pelanggaran lainnya. Kita harus tau, dimana titik kerawanan dan kelemahan proses pemilu, untuk memetakan kerawanan tersebut, dengan mencegah titik kerawanan itu, diawasi dan dikontrol oleh Rakyat sendiri.
Halmahera Utara, salah satu Kabupaten yang memiliki jangkauan akses terbilang relatif sulit, maka itu akan menjadi pintu kerawanan yang lebih pada kecurangan. Pada Tahun 2014 sialam, dimana ditubuh penyelenggara sendiri terdapat titik kerawanan,seperti. Penyelenggara yang terlibat dalam memenangkan siapa. Tak hanya ditubuh Penyelenggara. Bahkan di tubuh masyarakat, yang jauh dari ibu kota kabupaten, Seperti Loloda, dan Kao, Malifut. Tentunya ini, berpotensi kecurangan, sebab wilayah ini, susah dijangkau. Berangkat dari, proses Pemilu 2014- menuju 2015, pada Pilkada Bupati dan Wakil Bupati Halut, menuai tanda tanya integritas Penyelenggara, dan Keamanan. Sebab begitu ketatnya pengamanan, namun 11 Kotak suara hilang saat dibawah dari Loloda Kepulauan menuju Tobelo Kabupaten Halut. Hingga proses Pemilu 2015, telah memaparkan tingkat kecurangan di beberapa titik kerawanan pemilu.
Di Pilgub 2018 Halut termasuk sebagai Wilayah rawan. Hal ini karena , Pilgub harus menuai fakta hukum untuk dilakukan proses Pemungutan suara ulang (PSU). melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Fakta ini membuktikan bahwa wilayah kerawanan pemilu itu, sudah ditemukan, tinggal bagaimana membangun Resolusi, dengan mencegah agar tidak terulang peristiwa kecurangan di wilayah tersebut. Ironisnya, Tak hanya wilayah Kao Teluk, akan tetapi wilayah Loloda, dengan prestasi jiwa pilih yang sedikit, namun namun menghasilkan representasi enam Kursi, sementara Galela dengan empat Kecamatan kalah dengan Loloda dua kecamatan. Selain itu, Loloda pada Pilkada 2015, menjadi peristiwa pahit, dimana surat suara 11 kotak suara hilang di lautan menuju Tobelo.
Kerawanan Pemilu, selain dilihat pada pelanggaran, juga bisa dilihat pada indikator Demografi. Betapa tidak, Demografi dalam satu wilayah yang masih sulit jangkauan transportasi, dan Jaringan komunikasi, tentunya menjadi dampak terjadinya kerawanan. Selain dari Demografi, kerawanan terjadi pada tahapan kontestasi Pemilu, pada pemutakhiran data DPS dan DPT, yang sering terjadi beberapa pelanggaran seperti Orang meninggal, masuk DPT, dan Banyak terdapat DPT Ganda, sehingga harus ada kebijakan DPTHP.
Beranjak dari salah satu Tokoh Frans Magnisoseno dalam bukunya Negara Demokrasi mengatakan, 'Bahwa suatu Negara Demokrasi dijalankan tanpa dibarengi dengan hukum, maka akan pincang, begitu juga Hukum tanpa demokrasi disuatu negara, maka negara tersebut akan menjadi Monarki." Berangkat dari teori Frans Magnisoseno, bahwasanaya sebuah bangunan demokrasi harus memiliki asas hukum yang tegas, dan kepatuhan, sehingga demokrasi menjadi kuat dan mapan.
Indonesia yang masih terbilang mudah menerapkan sistem pemilihan langsung, tentunya masih banyak praktek pelanggaran akibat dari ulah sistem dan peserta pemilu yang cenderung mengabaikan asas pemilu yang demokratis. Tak hanya itu, kerap terjadi sebuah sistem pemilihan langsung yang diatur tidak secara demokratis. Sehingga menimbulkan kegaduhan dalam proses pemilu. Bahkan kerawanan sudah menjadi ancaman proses demokrasi yang tidak demokratis. Untuk itu, dari proses pemilu harusnya ada kesadaran yang tinggi dari kontestan pemilu untuk tidak membuat kerawanan itu terjadi.**(red)