Grid

GRID_STYLE

Breaking News

latest

Kepemimpinan Demokratis Abraham Lincoln, Obama & Jokowi

ILustrasi Penulis: Amanah Upara, Akademisi UMMU/ Staf Khusus DPR RI KoranMalut.Co.Id - Abraham Lincoln dilantik sebagai Presiden AS ke-16 p...

ILustrasi

Penulis: Amanah Upara, Akademisi UMMU/ Staf Khusus DPR RI

KoranMalut.Co.Id - Abraham Lincoln dilantik sebagai Presiden AS ke-16 pada tanggal 4 Maret 1861, setelah dilantik ia menunjuk semua mantan (rival politiknya) pesaingnya dalam bursa capres AS dari Partai Republik pada 1860 (1860 Republican National Convention) sebagai anggota kabinetnya. Mereka adalah: William Seward sebagai Menteri Luar Negeri; Salmon Chase sebagai Menteri Keuangan, dan Edward Bates sebagai Jaksa Agung. Lincoln juga melakukan langkah bipartisan, dengan menunjuk politikus Partai Demokrat yang beroposisi, Edwin Stanton, untuk menduduki kursi paling 'panas' dalam kabinetnya yang tengah menghadapi Perang Saudara; Menteri Perang. 

Gaya kepemimpinan yang demokratis ini diikuti oleh yuniornya Presiden Amerika Serikat ke 44 Brakc Obama. Pemilihan Umum presiden Amerika Serikat 4 November 2008. Obama keluar sebagai pemenang Presiden AS. Ia mengalahkan saingan terkuatnya dari Republik, John McCain. Obama disumpah menjadi presiden pada 20 Januari 2009. Presiden AS yang terpilih kedua kali pada 6 November 2012 ini juga merangkul rivalnya Hillary Clinton sebagai Menteri Luar Negeri. Si Anak Menteng' juga menunjuk saingan lainnya dalam primaries, Joe Biden, sebagai Wakil Presiden AS. Obama juga melakukan langkah bipartisan dengan menunjuk politikus Partai Republik yang beroposisi sebagai anggota kabinetnya, Ray LaHood sebagai Menteri Transportasi; dan Robert Gates yang mempertahankan posisinya sebagai Menteri Pertahanan sejak era Presiden George W Bush.

Gaya kepemimpinan yang demokratis juga dicontohi oleh Presiden Indonesia Joko Widodo. Presiden dua priode ini pasca Pilpres 2019, Presiden Joko Widodo 'merangkul' mantan saingannya selama Pilpres 2019, Prabowo Subianto, yang merupakan Ketua Umum Partai Grindra untuk menjadi Meteri Pertahanan dalam periode kedua pemerintahanya. Satu tahun kemudian tepatnya pada tanggal 23 Desember 2020 calon Wakil Presiden Prabowo Subianto, Sandiaga Salahuddin Uno dilantik Presiden Jokowi sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Padahal sebagaimana diketahui bahwa Pilpres 2019 mengalami polarisasi yang luar biasa ada yang meninggal dunia baik petugas Pemilu maupun pendukung masing-masing tim. Selain itu, saling melapor baik di KPU, Bawaslu, MK dan Kepolisian. Namun pada akhirnya dinamika tersebut berakhir dengan persatuan dan kesatuan untuk membangun bangsa. Gaya kepemimpinan Presiden Jokowi dinilai sejumlah pihak sebagai 'plot twist' paling mengejutkan dalam dinamika politik tanah air, tapi gaya kepemimpinan seperti inilah yang diharapkan dalam sistem demokrasi. 

Gaya kepemimpinan yang demokratis dan berjiwa negarawan seperti inilah yang perlu dicontohi oleh pemimpin-pemimpin lainnya di Indonesia baik Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa. Perbedaan politik, perbedaan pilihan,  perbedaan pendapat dan polarisasi dalam Pemilu merupakan hal biasa. Hal ini karena dalam Pemilu tidak ada kandidat yang ingin kalah pasti menginginkan menang, setiap kandidat dan tim sukses membuat program (visi-misi), taktik dan strategi untuk memenangkan Pemilu. Disinilah yang akan melahirkan dinamika dalam Pemilu. Oleh karena itu, dalam Pemilu setiap kandidat diharapkan siap kalah, siap menang dan memiliki sikap negarawan untuk merangkul yang kalah agar sama-sama membangun bangsa dan negara, yang kalah menerima kekalahannya dan mengucapkan selamat kepada yang menang.

Jangan lagi mempraktekkan "Politik Belah Bambu, membeda-bedakan masyarakat pasca Pemilu tim atau yang memilihnya dan bukan tim atau yang tidak memilihnya. Tim atau yang memilihnya diperhatikan yang bukan tim yang  tidak memilihnya tidak diperhatikan (bagi ASN non job, pindah dan mutasi bagi masyarakat tidak mendapatkan program pemerintah) dan Politik Abu Tungku, menang jadi arang kalah jadi abu". Gaya kepemimpinan seperti ini bukan gaya kepemimpinan yang demokratis tapi merupakan gaya kepemimpinan yang otoriter dan oligarki. Hal ini akan menyulitkan pemerintah dalam membangun negara karena mendapatkan perlawanan yang kuat dari oposisi dan masyarakat pada umumnya. Sadarilah bahwa setiap calon Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota dan Kades yang dipilih oleh rakyat bukan untuk melayani kepentingan kelompoknya (tim sukses, agama, suku, ras dan golongan) tapi untuk melayani seluruh kepentingan masyarakat. Jika dari awal rakyat mengetahui bahwa kalian menjadi pemimpin untuk melayani kepentingan kelompok maka sudah pasti rakyat tidak memilih kalian untuk menjadi pemimpin.

Tidak ada komentar